Bayu Samudra
bila kau tak mampu merangkai untaian kata tuk diucap, maka tuangkanlah dalam alunan syair dan nada
Jumat, 27 Juni 2014
Rabu, 25 Juni 2014
Jika Cinta yang Berbicara, Keajaiban Bisa Terjadi
Sebagian besar orang
menilai bahwa cinta itu merupakan suatu hal yang rumit, pelik dan wasting time. Bagi mereka, cinta identik
dengan fantasi, kecenderungannya hal itu selalu membuat pikiran bercabang, menyebabkan
ketidakfokusan, bahkan kadang dapat membuat seseorang menjadi gila. Tak dapat
dipungkiri bahwa cinta merupakan setabur bumbu kehidupan yang mau tak mau harus
terasa dan dirasakan dalam perjalanan kehidupan.
Bukan cinta namanya jika tidak membekas. Apakah bekas itu berupa goresan kepahitan, irisan kepedihan, atau guratan kebahagiaan? Hampir setiap orang pernah mengalaminya. Kenangan......itulah nama dari bekas yang dilukis oleh cinta. Bagi orang-orang tertentu, kenangan – kenangan tersebut mampu menginspirasi kehidupan mereka, namun bagi orang-orang yang lain, kenangan tersebut bisa menjadi jurang kehancuran mereka.
Ketika sang penulis Love Magician Book, Bartolomeus Kristi bertanya, ”Cinta itu terbuat dari apa?”. Tak ada seorang pun yang mampu melontarkan jawaban yang tepat. Pertanyaan tersebut memang tidak memiliki jawaban, melainkan bermaksud memberikan analogi bahwa cinta itu tidak tentu. Terkadang terasa begitu manis, atau teramat pahit, ataupun tiba – tiba menjadi hambar, seakan terjadi perubahan yang kontras, ya itulah cinta. Intinya, terbuat dari apakah cinta itu? Hanya pertanyaan yang tidak bisa dijawab yang melambangkan kemayaan sebuah cinta.
Dalam buku ini, sang
penulis akan berbagi dan memberikan secuil inspirasi berupa pengalaman real
atau nyata dalam menjawab problematika yang cukup kontradiktif dengan kaidah –
kaidah cinta yang kita pegang selama ini. Pengalaman – pengalaman itu akan
terbagi dalam beberapa bab pengalaman yang pastinya ada di dalam cinta.
LUNTURNYA APRESIASI MASYARAKAT KOTA TERHADAP PEMULUNG
oleh Samudra Bayu
Latar Belakang
Masyarakat
perkotaan sudah pasti memiliki beragam opini tentang pemulung. Banyak yang
beranggapan negatif mengenai pekerjaan yang satu ini, tetapi ada pula yang
tetap mengapresiasi pekerjaan ini. Berbicara mengenai apresiasi terhadap
pemulung, seringkali hal yang sederhana ini terlupakan oleh sebagian besar
masyarakat kota, tak terkecuali kota Surakarta. Masyarakat cenderung
mengabaikan peran dari pemulung yang sesungguhnya cukup besar dalam kaitannya
dengan rantai daur ulang yang menjadi salah satu problema fundamental dalam
kehidupan sehari-hari. Lazimnya manusia pada umumnya, apresiasi yang diterima
pemulung baik dari seseorang maupun dari sekelompok orang tentu akan
membangkitkan kepercayaan diri dan motivasi karena adanya pengakuan keberadaan serta
peran dari pemulung. Menarik untuk diamati bahwa kecenderungan sikap masyarakat
perkotaan, dalam hal ini masyarakat kota Surakarta mencerminkan
minimnya/lunturnya apresiasi terhadap pemulung.
Permasalahan
yang dihadapi
Dalam realita di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari
dua sisi yang berbeda. Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan
peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan
pengetahuan. Disisi lain, keberadaan pemulung dianggap mengganggu kebersihan, keindahan,
ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Bagi pemulung, adanya anggapan positif atau negatif
dari masyarakat tidak menjadi masalah berarti. Dari hasil usaha sendiri para pemulung dapat hidup,
setidaknya bukan
dari hasil minta-minta.
Berdasarkan pengamatan
yang telah dilakukan penulis, komunitas pemulung tersebut mayoritas adalah
petani yang sedang merantau sembari menunggu musim panen, sedangkan sisanya merupakan
murni pemulung. Ketika musim panen tiba, para petani ini akan kembali ke
kampung halamannya untuk mengurus sawah dan hasil panen. Para petani ini
menjadikan pemulung sebagai pekerjaan sampingan karena tuntutan ekonomi yang
semakin hari semakin besar dan mereka memiliki pandangan bahwa memulung
merupakan alternatif terbaik. Hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa para
pemulung tersebut memang benar-benar bergelut dengan kesulitan hidup yang
semakin hari semakin menjepit. Perjuangan hidup komunitas pemulung menunjukkan
bahwa ada keseriusan usaha yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya sebagaimana dijelaskan diatas.
Situasi dan kondisi
sulit yang dialami pemulung seperti itupun, juga masih semakin dipersulit
dengan sikap dan perilaku masyarakat pada umumnya, yang terwujud konkret dalam
bentuk pelarangan terhadap pemulung. Adapun pelarangan ini terwakili melalui
tulisan-tulisan pada semacam papan yang terpampang jelas hampir di setiap ruas
gang ataupun persimpangan-persimpangan di daerah pemukiman warga seperti dalam
perkampungan dan perumahan, yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
Menurut hasil
wawancara dengan komunitas pemulung tersebut, memang pelarangan seperti itu
berdampak pada penghasilan pemulung, karena para pemulung sendiri seakan dibuat
patuh terhadap aturan tersebut. Para pemulung ini merasa prekewuh apabila melanggar walaupun hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan warga, semisal saat kampung dalam situasi sepi. Hal kepatuhan
seperti ini tidak hanya terjadi di komunitas pemulung daerah Tipes saja, tetapi
juga di daerah lain seperti Mojosongo menurut salah seorang pemulung yang
memiliki kawan sesama pemulung di daerah tersebut. Para pemulung ini memegang
komitmen enggan “berurusan” dengan warga karena memang belajar dari pengalaman
ketika beberapa dari mereka mendapatkan teguran kurang lebih tiga kali dari
warga ketika nekat terhadap larangan
tersebut, tentunya dalam waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Situasi
seperti diatas menjadi gambaran lunturnya apresiasi masyarakat terhadap pemulung
beserta wujudnya.
Klasifikasi Dampak dari Permasalahan
Dampak permasalahan tersebut secara
sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya :
1.
Dampak Sosial-ekonomi:
penghasilan pemulung yang tidak menentu dan cenderung berkurang sehingga akan
menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
2.
Dampak Sosial-politik: semakin berkembangnya larangan
bagi pemulung
untuk memasuki kawasan pemukiman
warga.
3.
Dampak Sosial-budaya:
masyarakat semakin tidak menghargai
pemulung serta memiliki pandangan yang rendah terhadap
pemulung atau meremehkan pemulung. Pada akhirnya
kepekaan sosial dan moral dalam menyikapi hal ini juga akan semakin rendah.
Analisis
Permasalahan
Inti Permasalahan
Setelah
melakukan beberapa
analisis
tentang keprihatinan ini, maka diketemukanlah alur
permasalahan yang dapat dirangkai dalam pola pikir yang dapat dilihat dari
skema berikut :
Suatu
keputusan mengenai adanya pelarangan
yang diperuntukkan kepada pemulung sungguh
mencerminkan realita masyarakat perkotaan,
tanpa terkecuali masyarakat kota Surakarta, telah melunturkan diri terhadap
apresiasi akan perjuangan hidup salah satunya seperti yang diperlihatkan
pemulung. Mengumpulkan berbagai macam barang dari berbagai
lokasi tempat pembuangan sampah di kota yang masih memiliki nilai jual yang
kemudian disalurkan ke tempat-tempat produksi/daur ulang memerlukan kesabaran,
kekuatan, dan daya juang yang tinggi dan itu secara implisit tercermin dalam
diri para pemulung. Jiwa struggle
seperti yang dimiliki komunitas pemulung tersebut tentunya patut dan harus
diapresiasi bersama. Wujud apresiasi tidaklah melulu melalui bantuan langsung
untuk kesejahteraan ataupun penghargaan, namun hanyalah sebuah hal kecil nan simple yang justru dilupakan dan tidak
diperhatikan oleh mayoritas masyarakat, yaitu dengan tidak membatasi ruang
gerak pemulung untuk mencari nafkahnya. Masyarakat yang memiliki kepekaan
sosial tinggi tentu akan sadar bahwa adanya pelarangan terhadap pemulung semakin
membatasi ruang gerak pemulung, sudah tentu imbasnya langsung dan nyata pada
penghasilan pemulung.
Selain itu, perlu disadari bersama pula bahwa adanya pemulung turut
membantu salah satu problematika kehidupan yang sulit ditangani oleh pemerintah
pada umumnya, yakni sampah. Mungkin
timbul
pemikiran bahwa ada sesuatu yang
salah dalam sistem pengelolaan sampah sehingga problem ini menjadi salah satu
dari sekian problema besar dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah seharusnya ada opsi menjadikan
pemulung sebagai bagian
dari solusi itu. Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak
Dinas Kebersihan Perkotaan membantu mengurangi jumlah sampah khususnya sampah
plastik sehingga dapat meminimalisir pencemaran lingkungan
karena perannya sebagai ujung tombak dari
rantai daur ulang barang bekas.
Dalam konteks luasnya, segala macam kebijakan masyarakat dan
pemerintah perlu mengedepankan kebaikan bersama. Pemulung juga manusia yang membutuhkan sentuhan sosial yang dapat memacu semangat hidupnya.
Karena sebagaimana termuat dalam undang-undang bahwa setiap
orang memiliki hak untuk hidup dan melakukan
segala macam cara untuk mempertahankan hidupnya selama tidak menyalahi kaidah
atau norma-norma maupun nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini, suatu ketidakadilan
benar-benar nyata ditujukan kepada kaum pemulung. Pemulung memang suatu
pekerjaan yang memang mendapat pandangan yang kurang baik di mata masyarakat.
Pekerjaan yang sesungguhnya halal namun justru dipandang suatu pekerjaan yang
seakan tabu dan tak pantas. Berbicara
mengenai pelarangan tersebut, ada benarnya pula masyarakat membuat larangan
tersebut karena berkaca pada peristiwa yang pernah terjadi misalnya sampah
beberapa warga yang berserakan kembali dari tempatnya, ataupun pencurian, yang
sudah tak asing lagi di telinga masyarakat dan bahkan menjadi peristiwa yang
paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa jadi pemulung
menjadi salah satu sorotan dalam hal tersebut.
Namun
alangkah kurang bijaksana jikalau hanya karena berkaca pada hal seperti itu kemudian langsung
mengambil langkah pelarangan terhadap pemulung untuk memasuki suatu pemukiman
warga tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu. Sejatinya, masyarakat membutuhkan pemahaman kembali bahwa suatu tindakan
dilakukan oleh karena adanya peluang. Ketika situasi dan kondisi pemukiman terkontrol
dengan baik, otomatis tindakan kriminal seperti pencurian juga akan minim. Baik
tidaknya kontrol ini juga tergantung pada tanggap atau tidaknya setiap individu
sebagai warga masyarakat. Permasalahan
mendasar daripada tanggap atau tidaknya setiap individu terletak pada kesadaran
dan kepekaan sosial serta moral, sehingga inilah yang sekiranya menjadi fokus
utama sebagai langkah solutif terkait dengan hal tersebut.
Permasalahan tersebut juga
terkait dengan teori perilaku yang dikembangkan oleh Fishbein (1980). Dalam
pendapatnya, perilaku erat kaitannya dengan niat. Sedangkan niat akan
ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisa menjelaskan secara langsung
terhadap perilaku. Di samping itu, niat seseorang untuk melakukan sesuatu
ditentukan oleh dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang datang dari dalam
diri, yaitu sikap. Yang kedua adalah sesuatu yang datang dari luar, yakni
persepsi tentang pendapat orang lain terhadap dirinya, dalam kaitan dengan
perilaku yang diperbincangkan atau dengan kata lain hal yang kedua ini biasa
disebut norma subjektif. Teori Fishbein dapat digambarkan sebagai berikut:
Sikap merupakan satu konsep
kesatuan dengan moral dimana moral dapat dikatakan sebagai landasan dalam
bersikap. Dengan kata lain, pemahaman dan pendidikan yang mendalam mengenai
moral sejatinya sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap sikap yang
diambil. Ketika moral telah terbentuk dengan baik, selanjutnya akan terbentuk
kepekaan dalam bersikap dan menyikapi kejadian ataupun hal-hal yang ada.
Kesimpulan
Lunturnya
apresiasi masyarakat kota terhadap pemulung adalah salah satu contoh akibat
dari minimnya kesadaran dan kepekaan sosial dengan dilandasi ketidakmatangan
moral. Sebutir hal yang seharusnya menjadi konsentrasi dalam bagian pembangunan
karakter manusia Indonesia yang cerdas, luhur, dan berbudaya. Pembangunan
dimensi kepribadian tersebut haruslah mengedepankan dan menargetkan terpenuhinya aspek-aspek humanis secara pas dan seimbang yang tentunya
hanya dapat tercapai dengan didahului oleh adanya kesadaran bersama untuk
merekonstruksi pendidikan dengan dasar pembangunan moral yang utama dilakukan
dalam bingkai dimensi sosial-humanis.
Saran
Kesadaran dan kepekaan sosial masyarakat kota terhadap peran pemulung
dapat dikatakan masih rendah dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup.
Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah setiap insan
masyarakat akan perlunya pembinaan moral sedari dini dalam berbagai upaya yang
relevan sehingga dapat terbentuk kecerdasan sosial dan moral yang baik, kuat
dan mengakar dalam diri masyarakat.
Referensi:
Zamroni. 1992. Pengantar
Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta:Tiara Wacana
Kieser, Bernhard. 1987. Moral
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Teologi
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Semangat untuk Sahabatku
Berguyurkan deras
hujan
lunturkan dendam dan kebencian
Hilangkan setitik perbedaan
tetap bertahan dan teruslah
berjalan
Janganlah menangis
tetaplah berdiri
Slalu Optimis tuk raih mimpi
Jalani hari dengan gagah berani
Melawan terik matahari
Meski tak ada satupun yang mau
peduli
Jangan berhenti dan slalu mantapkan hati
Ayo kawan! Ayo Semangat!
Kita bulatkan tekad
Kita satu! Harus menyatu!
You’re just too good to be true
December
31, 2009
Selasa, 24 Juni 2014
SUNAN GRESIK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Berbicara mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa dapat
dikatakan sama dengan berbicara mengenai peranan para wali dalam penyebaran
Islam, khususnya dalam hal ini adalah peranan Wali Sanga. Karena melalui Wali
Sanga itulah, syiar Islam dapat berkembang di Pulau Jawa. Walaupun sesungguhnya
para wali tidak hanya Wali Sanga namun kesembilan wali inilah yang memiliki
peranan vital terkait dengan keberhasilan strategi dakwah Islam yang berbasis pendekatan
kultural. Di kalangan masyarakat, para wali yang terkenal adalah Wali Sanga
yang berjumlah sembilan orang, yakni mereka yang bergelar Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makdum
Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga
(Raden Syahid), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Dalam makalah ini, penulis tidak akan menguraikan satu per satu dari Wali
Sanga, akan tetapi hanya Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) yang akan dibahas
mengingat bahwa Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Sanga dan
mempelopori strategi dakwah yang selanjutnya diteruskan oleh para wali
sesudahnya.
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di
atas, maka rumusan masalah
yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana asal-usul Sunan
Gresik?
2. Bagaimana metode,
sarana, dan usaha Sunan Gresik dalam berdakwah?
3. Bagaimana akhir hayat Sunan Gresik?
4. Apa saja peninggalan Sunan Gresik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.
Untuk mengetahui asal-usul
Sunan Gresik.
2. Untuk memahami metode,
sarana, dan usaha Sunan Gresik dalam berdakwah.
3. Untuk mengetahui akhir hayat Sunan Gresik.
4. Untuk mengetahui peninggalan-peninggalan Sunan Gresik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-usul
Sunan Gresik
Biodata Sunan Gresik
Nama
|
:
|
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
|
Wafat
|
:
|
1419 M
|
Tempat Pemakaman
|
:
|
Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur
|
Ayah
|
:
|
Raden Jumadil Qubra (Maulana Akbar)
|
Istri
|
:
|
Dewi Candrawulan (Ratna Dyah Siti Asmara)
|
Anak
|
:
|
Raden Santri Ali
|
:
|
Raden Rahmat (Sunan Ampel)
|
|
Gelar atau Nama Lain
|
:
|
Sunan Tandhes
|
:
|
Sunan Gribigh
|
|
:
|
Sunan Raja Wali
|
|
:
|
Wali Quthub
|
|
:
|
Mursyidul Auliya’ Wali Sanga
|
|
:
|
Sayyidul Auliya’ Wali Sanga
|
|
:
|
Maulana Maghribi
|
|
:
|
Syekh Maghribi
|
|
Jabatan
|
:
|
Pemimpin Wali Sanga
|
:
|
Pendiri dan Pengasuh Pesantren di Gresik
|
Ada beberapa alasan mengenai penyebutan
nama-nama Sunan Gresik. Misalnya disebut Maulana atau Syekh Maghribi karena
beliau dianggap berasal dari daerah Maghrib, Maroko, Afrika. Dalam pengucapan
orang Jawa, Maulana Maghribi disebut Maulana atau Sunan Gribigh. Masyarakat
menjuluki beliau si Kakek Bantal lantaran beliau adalah tempat berkeluh kesah
masyarakat dan tempat menyandarkan diri saat pikiran sedang kacau.
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa nama
Malik Ibrahim tak lain adalah Makdum Ibrahim Asmara. Kata “Asmara” merupakan
pengucapan Jawa. Kata “Asmara” adalah kependekan dari Asmarakandi mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, lalu berubah menjadi Asmarakandi.
Asmarakandi diambil dari nama sebuah kota Samarkand di Republik Uzbekistan.
Bukti dari nama ini menjadi penolakan atas anggapan sebagian orang bahwa beliau
berasal dari Arab. Sebagian riwayat juga ada yang mengatakan bahwa beliau
berasal dari Turki dan dalam rangka menyebarluaskan agama Islam beliau datang
ke tanah Jawa sebagai utusan dakwah Khalifah Turki Utsmani.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami
bahwa asal usul daerah kelahiran Maulana Malik Ibrahim masih belum jelas dalam
sejarah. Namun, para sejarawan sepakat bahwa beliau bukanlah asli orang Jawa,
tetapi merupakan pendatang di tanah Jawa. Ayah Sunan Gresik bernama Raden
Jumadil Qubra atau Syekh Maulana Jumadil Kubro yang diyakini sebagai
keturunan ke-10 dari Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad Saw. dan silsilah
beliau dianggap sebagai keturunan Rasulullah Saw.
Sebelum datang ke Jawa Timur, Maulana Malik
Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama 13 (tiga belas)
tahun, mulai tahun 1379 hingga 1392 M, dalam misi syiar Islam. Beliau dinikahkan
oleh raja Campa dengan putri raja Campa yang bernama Dewi Candrawulan. Dari
perkawinan ini lahir dua putra, yaitu Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel)
dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Karena merasa telah cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya di negeri Campa. Beliau tiba
di Jawa pada abad ke-15, atau tepatnya tahun 1404 M.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
merupakan wali yang tertua dari Wali Sanga. Dari beliau, lahir anak-cucu yang
diantaranya termasuk dalam Wali Sanga. Adapun Wali Sanga ini tidak hidup
bersamaan, akan tetapi di antara mereka terjalin hubungan erat, yaitu ada yang
memiliki hubungan darah (ayah-anak-cucu), guru-murid, atau persahabatan. Urutan
keterkaitan di antara Wali Sanga tersebut adalah Sunan Gresik sebagai yang
tertua. Sunan Ampel adalah putra dari Sunan Gresik. Sunan Giri adalah keponakan
Sunan Gresik. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan
Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan
putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Sunan
Gunung Jati adalah sahabat para sunan yang telah disebut, kecuali Maulana Malik
Ibrahim karena lebih dulu meninggal. Sunan Gresik sebagai wali tertua tentu
memiliki pengaruh terhadap para wali setelahnya, terutama yang berkaitan dengan
metode dakwah.
2.2
Metode, Sarana, dan Usaha-usaha Sunan Gresik dalam
Berdakwah
Ada beberapa ciri khas yang digunakan oleh Wali Sanga sehingga agama Islam
dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Jawa tanpa harus melalui pertumpahan
darah, seperti berperang, menindas, menjajah, melakukan kekerasan, pemaksaan,
atau dengan embargo ekonomi, hal-hal yang sangat dihindari oleh Wali Sanga
dalam misi syiar Islam di pulau Jawa. Ciri khas tersebut adalah berdakwah
dengan melihat kebijaksanaan hidup, memakai pendekatan kultural, membantu
masyarakat miskin, dan menjalin persaudaraan antar elemen masyarakat.
Beberapa metode dakwah tersebut tidak lahir begitu saja dari hasil
pemikiran Wali Sanga. Metode tersebut memang sudah tertanam dalam ajaran Islam
dan diteladankan langsung oleh Rasulullah Saw. Berdakwah dengan bijaksana
memang diperintahkan oleh Allah Swt. Metode dakwah dengan bijaksana ini termuat
dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]:125).
Dalam ayat tersebut, Allah Swt. memerintahkan agar manusia menyeru atau
berdakwah untuk mengikuti jalan Tuhan dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
Pelajaran yang baik adalah tingkah laku yang baik ketika berdakwah. Artinya,
berdakwah tidak dengan kekerasan atau segala hal yang dapat menyakiti
orang-orang. Sebagai wali tertua, Sunan Gresik telah mengawali dakwahnya dengan
damai, penuh kebijaksanaan, dan melalui pendekatan kultural. Metode dan
pendekatan semacam ini terus dipertahankan oleh para wali sesudahnya. Berikut
beberapa metode, sarana, dan usaha-usaha yang dilakukan Sunan Gresik dalam
berdakwah:
a.
Mempelajari Adat Istiadat Setempat
Awalnya, siapa saja yang datang
ke tempat baru, akan merasakan kesulitan
untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Hal ini terjadi lantaran adanya
kekhawatiran akan salah tingkah ataupun sesuatu yang dilakukan tidak sesuai
dengan adat istiadat masyarakat di wilayah yang baru ditempati. Demikian pula
halnya yang terjadi pada Sunan Gresik. Karena beliau bukan merupakan orang Jawa,
tentu harus mengadakan adaptasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat
sebelum mengawali dakwahnya. Sebab beliau paham betul bahwa setiap negara
memiliki aturan tersendiri dengan negara lain. Bahkan, setiap desa di suatu
negara memiliki adat istiadat yang berbeda dengan desa yang lain. Untuk itu,
Sunan Gresik mempelajari bahasa Jawa, mengenali adat istiadat tempat beliau
tinggal, serta mempelajari kehidupan masyarakat, baik dari segi mata
pencahariannya, pandangan hidupnya, dsb. dengan harapan bahwa hal tersebut akan
membuatnya lebih berhati-hati dan tidak terjerumus dalam kesalahan yang dapat
membuat masyarakat membencinya.
b.
Membuka Warung
Di wilayah yang baru ditempati,
mula-mula Sunan Gresik membuka warung untuk berjualan makanan dan barang yang
menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Berjualan menjadi salah satu sarana
yang digunakan oleh Sunan Gresik dalam misi dakwahnya. Sebagai pendatang, tentu
tidak mudah bagi beliau untuk langsung menjalankan misi dakwah. Oleh karena
itu, diperlukan keakraban terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Bagi
Sunan Gresik, berjualan merupakan cara yang cukup efektif dalam upaya
mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Dari berjualan, Sunan Gresik
dapat membangun relasi yang baik dengan masyarakat serta dapat mempelajari
segala hal pada masyarakat yang menjadi konsumennya, yakni mulai dari nama
orang-orang, keluarganya, kondisi kehidupannya termasuk situasi
sosial-ekonominya, wataknya, bahkan kalau perlu hal-hal yang bersifat pribadi
juga beliau coba ketahui. Perlu dipahami bahwa motif dalam pendirian warung
tersebut bukanlah untuk mencari keuntungan tetapi sebagai sarana dalam
menyiarkan agama Islam sehingga apapun yang beliau perdagangkan, dijual dengan
harga yang murah. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan masyarakat setempat.
c.
Membuka Lahan Pertanian
Sunan Gresik adalah orang yang
ahli dalam pertanian. Beliau mampu memanfaatkan tanah di Jawa yang subur untuk
menanam tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti padi, umbi-umbian, dsb. Bahkan
beliau merupakan orang pertama yang memiliki gagasan untuk mengalirkan air dari
gunung untuk menunjang irigasi lahan pertanian penduduk. Kehadiran Sunan Gresik
di tanah Jawa benar-benar menjadi berkah dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hasil
pertanian menjadi semakin meningkat, sehingga banyak orang yang menaruh
perhatian dan ingin belajar kepada beliau.
d.
Menjadi Tabib
Selain handal dalam perdagangan dan pertanian, Sunan
Gresik juga cukup piawai dalam menangani masalah kesehatan. Dengan racikan obat
yang dibuat beliau, hampir seluruh orang yang berobat mendapatkan kesembuhan. Dalam
menjalankan praktik pengobatan, beliau tidak memungut biaya. Oleh karena
keikhlasan pelayanan inilah yang semakin menempatkan posisi Sunan Gresik
menjadi orang yang disegani dan terkenal dalam masyarakat. Kharisma beliau
semakin kuat seiring dengan keberhasilan dalam mengobati berbagai penyakit dan
menjadikan Sunan Gresik sebagai sandaran hidup masyarakat.
e.
Hidup dengan Sederhana
Hidup dengan sederhana bukan
berarti tidak memiliki apa-apa. Hidup sederhana menandakan bahwa orang itu
tidak tergantung terhadap materi. Orang yang mampu melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap materi akan mencapai kebahagiaan sejati. Sebab, selama
manusia masih tergantung pada materi, hidupnya tidak akan pernah puas. Selain
itu, dengan hidup sederhana, seseorang dapat membuka pergaulan seluas-luasnya.
Sebaliknya, hidup yang terbelenggu dalam kemewahan identik dengan kehidupan
para elite sehingga masyarakat kelas bawah enggan untuk bergaul dengan para
elite. Sunan Gresik sebagai ulama yang akan menjadi panutan seluruh elemen
masyarakat tentu bukan kebetulan memilih hidup sederhana. Beliau mengetahui
bahwa dengan hidup sederhana, dapat membangun relasi dengan siapa saja, baik di
tingkat elite maupun tingkat bawah. Masyarakat menjadi tidak segan untuk
bergaul dengan beliau, karena masyarakat memiliki pandangan bahwa beliau adalah
sederajat dengannya dalam ranah sosial.
f.
Menghapus Perbedaan Kelas
(Kasta)
Dalam kehidupan masyarakat di wilayah Sunan Gresik
tinggal, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap perbedaan kelas sosial. Ada
masyarakat yang diposisikan kelas sosialnya sebagai masyarakat rendah, tengah,
dan tinggi. Masyarakat rendah memiliki nasib yang malang karena tidak dapat
menikmati hak-hak asasi manusia. Mereka dianggap tidak berguna oleh masyarakat
pada kelas yang lebih tinggi lantaran kelas sosialnya yang rendah. Umumnya,
masyarakat yang menempati kelas sosial rendah adalah para budak dan petani.
Sebagai orang Islam, tentu Sunan Gresik tidak setuju dengan situasi tersebut.
Di dalam agama Islam, tidak ada perbedaan kelas, yang membedakan seseorang
dengan orang lain adalah dalam hal ketakwaannya. Oleh karena itu, Sunan Gresik
yang jika dilihat dari kepercayaan masyarakat setempat, sebagai orang yang
memiliki kelas sosial tinggi karena beliau tergolong kaya dan menantu raja,
tetapi memposisikan diri sebagai orang yang sederajat dengan siapapun, termasuk
dengan masyarakat yang dianggap memiliki kelas sosial rendah. Kemudian, beliau
mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat bahwa dalam Islam derajat setiap
manusia adalah sama dan selanjutnya banyak orang yang tertarik untuk masuk
Islam. Dalam hal ini, Sunan Gresik telah membantu masyarakat kelas tinggi
keluar dari kezaliman karena merendahkan masyarakat pada kelas sosial yang
lebih rendah, dan mengangkat derajat masyarakat yang dianggap pada kelas sosial
rendah pada posisi yang sama dalam status hubungan sosial.
g.
Membangun Masjid dan
Pesantren
Setelah para pengikut Islam semakin banyak, Sunan
Gresik mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah, sarana berdakwah, dan
mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Pada waktu itu, masyarakat Jawa
sudah terbiasa menetap di tempat gurunya yang mengajarkan ilmu. Ada
tempat-tempat khusus yang disediakan oleh para guru untuk menampung murid yang
ingin belajar kepadanya. Sunan Gresik yang mengetahui adat kebiasaan ini,
kemudian mendirikan pesantren sebagai tempat murid atau santri yang
menginginkan belajar ilmu agama kepada beliau. Banyak orang yang ingin
mendalami Islam di pesantren yang didirikan Sunan Gresik, baik yang datang dari
desa setempat maupun dari desa di lain daerah. Dari pesantren yang didirikan
beliau ini, lahirlah para wali dan ulama yang meneruskan perjuangan dakwahnya,
menyebarluaskan Islam ke berbagai daerah di Nusantara.
h.
Mengajarkan Islam dengan
Mudah
Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat awam,
Sunan Gresik memiliki prinsip mengajarkan ilmu dengan mudah dipahami oleh
masyarakat. Beliau tidak mengajarkan Islam secara rumit dan teoretis. Artinya,
beliau mengajarkan agama Islam dengan disertai contoh praktis yang mudah
dipahami dan dimengerti. Dalam mengajarkan Islam, beliau juga tidak
menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan ancaman, melainkan disampaikan dengan
gembira sebagaimana pesan Rasulullah Saw. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Stamford Raffles dalam bukunya History
of Java, yang dikutip Arman Arroisi, ketika Sunan Gresik ditanya siapakah
Allah itu? Beliau tidak menjawab bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar, yang
akan menyiksa orang-orang yang membangkang dan memberikan pahala kepada
orang-orang yang berbakti. Melainkan, beliau menjawab secara sederhana, “Allah
adalah Dzat yang diperlukan ada-Nya.”
Dengan beberapa metodologi tersebut, Sunan Gresik telah
berandil besar mengembangkan Islam di Pulau Jawa dengan cukup pesat. Hal
tersebut terjadi karena Islam disampaikan dengan santun dan penuh kebijaksanaan
beliau, sebagaimana yang memang dianjurkan oleh Allah Swt. Dan diteladankan
oleh Rasulullah Saw.
2.3
Akhir Hayat Sunan Gresik
Sunan
Gresik yang telah memperjuangkan syiar agama Islam di Jawa, wafat pada hari
Senin, 12 Rabi’ul Awal 822 H atau 1419 M. beliau dimakamkan di Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur. Pada bingkai nisannya, tertulis beberapa ayat al-Qur’an,
yaitu QS. Ali ‘Imran [3]:185, QS. ar-Rahman [55]:26-27, dan QS. at-Taubah
[9]:21-22. Sedangkan, pada batu nisannya terdapat inskripsi sebagai berikut:
“Inilah makam almarhum al-maghfur yang
mengharapkan rahmat Tuhan, kebanggaan pangeran-pangeran, sendi sultan dan
menteri-menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid,
cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama
Kaki Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan
ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 822 H.”
Batu
nisan Sunan Gresik menjadi bahan penelitian karena memiliki keunikan
tersendiri, yang berbeda dengan nisan-nisan bentukan orang-orang Jawa. Oleh
sebab itu, dicarilah asal usul batu nisannya. Mengenai asal batu nisan Sunan
Gresik, terdapat tiga pendapat sebagai berikut:
·
Ada yang mengatakan bahwa
batu nisan Sunan Gresik tersebut berasal dari Pasai. Pasai terletak di pesisir
pantai utara Sumatra, di sekitar Lhokseumawe dan Aceh Utara, Aceh, Indonesia.
·
Ada yang berpendapat bahwa
batu nisan yang terdapat di Pasai dan Gresik menunjukkan persamaan dengan batu
nisan di India. Sehingga, diduga batu nisan Sunan Gresik berasal dari Cambay
(India). Pendapat ini berdasarkan pada persamaan gaya tulisannya.
·
Ada yang berkeyakinan
bahwa batu nisan Sunan Gresik terbuat dari marmer dan dipastikan berasal dari
Cambay.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai asal-usul
batu nisan Sunan Gresik tersebut, tidak menjadi persoalan bagi bukti keberadaan
Sunan Gresik di Pulau Jawa. Karena, yang terpenting dari adanya batu nisan
tersebut adalah menjadi bukti keberadaan sang Sunan di Pulau Jawa.
2.4
Peninggalan Sunan Gresik
Berikut
adalah beberapa peninggalan Sunan Gresik:
1.
Makam
Makam
Sunan Gresik yang terletak di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur, termasuk salah
satu peninggalan berharga dari beliau. Sebab, makam tersebut menjadi bukti
sejarah adanya wali pertama yang menyebarkan Islam di Indonesia. Selain itu,
dari makam tersebut, ditemukan bukti-bukti sejarah mengenai masuknya Islam ke
Indonesia.
2.
Gapura Paduraksa
Gapura
Paduraksa terdapat di pintu masuk makam Sunan Gresik. Gapura Paduraksa tersebut
tersusun atas susunan batu bata. Pada sisi kanan bawah gapura, terdapat
prasasti pendek bertuliskan angka tahun Jawa Kuna 1340 Saka/1419 M. Tahun ini
sama dengan tahun wafatnya Sunan Gresik.
3.
Sumur Gembyang
Di dekat
makam Sunan Gresik, terdapat sumur yang disebut Sumur Gembyang. Sumur ini
dipercaya sebagai salah satu peninggalan Sunan Gresik karena dibuat oleh
beliau. Sekarang, sumur yang dikeramatkan tersebut ditutup karena untuk
menghindari potensi terjadinya syirik. Walaupun demikian, para peziarah masih
dapat mengambil air sumur tersebut.
4.
Bedug
Salah
satu peninggalan yang dihubungkan dengan Sunan Gresik adalah bedug, yang
lazimnya ditabuh untuk menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan saat hari
raya. Bedug yang dianggap buatan Sunan Gresik semula berada di Masjid
Pesucinan, namun sekarang disimpan di Museum Sunan Giri.
5.
Masjid Pesucinan
Masjid
yang berlokasi di Dusun Pesucinan, Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai salah satu
peninggalan Sunan Gresik. Walaupun demikian, tidak banyak catatan sejarah yang
menceritakan mengenai keberadaan Masjid Pesucinan ini, sehingga tidak ada bukti
valid yang dapat membenarkan kepercayaan penduduk setempat. Akan tetapi, bila
mengacu pada perjalanan Sunan Gresik ke Pulau Jawa, maka daerah yang dituju
pertama kali adalah Desa Sembalo yang berada dalam kekuasaan Majapahit, dan
sekarang merupakan Desa Leran, Kecamatan Manyar, atau 9 kilometer dari pusat
Kota Gresik. Adapun nama Pesucinan diambil karena memiliki makna bahwa masjid
tersebut bertujuan untuk menyucikan masyarakat setempat yang awalnya mayoritas
beragama Hindu-Budha. Selain itu, dikatakan Pesucinan karena masjid ini
berdekatan dengan kolam untuk berwudhu atau menyucikan diri. Adapun yang diduga
kuat sebagai peninggalan Sunan Gresik yang sampai saat ini masih tetap asli
dari bagian masjid yang sudah beberapa kali direhab adalah pucuk kubah masjid
dan mimbar tempat penceramah.
6.
Kolam
Kolam
yang berukuran 3 x 3 m dan terletak di dekat Masjid Pesucinan ini juga
merupakan salah satu peninggalan Sunan Gresik. Masyarakat setempat percaya
bahwa kolam tersebut memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit, sebab rasa
airnya berbeda dengan beberapa kolam yang ada di sisi kiri dan kanan masjid
serta kolam atau sumur baru buatan warga. Hal ini karena air dari kolam
tersebut rasanya tawar, meskipun di sisi kiri dan kanan masjid dikelilingi
tambak. Sedangkan, apabila warga membuat kolam atau sumur baru, airnya berasa asin.
Oleh karena kondisi tersebut, masyarakat setempat berkeyakinan bahwa kolam
tersebut merupakan buatan asli dari Sunan Gresik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim) atau lebih dikenal dengan sebutan Maulana Maghribi walaupun belum
diketahui secara pasti mengenai asal-usul beliau, namun peranannya dalam
menyebarluaskan Islam di tanah Jawa sangat besar. Dilatar belakangi kesuksesan
dalam misi Islamisasi di negeri Campa, Sunan Gresik hijrah ke Jawa dalam misi
suci yang sama. Sunan Gresik menjadi peletak dasar dan pelopor syiar Islam
berbasis pendekatan kultural yang selanjutnya diteruskan oleh para wali
setelahnya. Semasa hidupnya, Sunan Gresik dikenal sebagai orang yang sangat
ahli di bidang agama Islam dan begitu pandai dalam menarik simpati masyarakat
Jawa, sehingga dakwahnya diminati oleh banyak orang. Beliau juga merupakan
pribadi yang santun, saleh, penolong, dan penyabar. Sunan Gresik menggunakan
cara berdakwah dengan bijaksana untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat yang
belum begitu mengenal agama Islam melalui metode dan strategi yang telah beliau
persiapkan dengan baik. Pada tahun 1419 M, Sunan Gresik wafat dan makamnya kini
terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Adapun beberapa peninggalan
Sunan Gresik antara lain Masjid Pesucinan, Kolam, Sumur Gembyang, dan Bedug.
DAFTAR PUSTAKA
Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Sanga: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta:Panji
Pustaka.
Ridin Sofwan dkk. 2004. Islamisasi
di Jawa: Wali Sanga, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hariwijaya,
M. 2007. Wali Sanga Penyebar Islam di
Nusantara. Yogyakarta:Pustaka Insan Madani.
http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/29/syekh-maulana-malik-ibrahim-512787.html diakses pada 26/11/2013 pukul 19.24 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)