Rabu, 25 Juni 2014

Jika Cinta yang Berbicara, Keajaiban Bisa Terjadi






Sebagian besar orang menilai bahwa cinta itu merupakan suatu hal yang rumit, pelik dan wasting time. Bagi mereka, cinta identik dengan fantasi, kecenderungannya hal itu selalu membuat pikiran bercabang, menyebabkan ketidakfokusan, bahkan kadang dapat membuat seseorang menjadi gila. Tak dapat dipungkiri bahwa cinta merupakan setabur bumbu kehidupan yang mau tak mau harus terasa dan dirasakan dalam perjalanan kehidupan.

Bukan cinta namanya jika tidak membekas. Apakah bekas itu berupa goresan kepahitan, irisan kepedihan, atau guratan kebahagiaan? Hampir setiap orang pernah mengalaminya. Kenangan......itulah nama dari bekas yang dilukis oleh cinta. Bagi orang-orang tertentu, kenangan – kenangan tersebut mampu menginspirasi kehidupan mereka, namun bagi orang-orang yang lain, kenangan tersebut bisa menjadi jurang kehancuran mereka.

Ketika sang penulis Love Magician Book, Bartolomeus Kristi bertanya, ”Cinta itu terbuat dari apa?”. Tak ada seorang pun yang mampu melontarkan jawaban yang tepat. Pertanyaan tersebut memang tidak memiliki jawaban, melainkan bermaksud memberikan analogi bahwa cinta itu tidak tentu. Terkadang terasa begitu manis, atau teramat pahit, ataupun tiba – tiba menjadi hambar, seakan terjadi perubahan yang kontras, ya itulah cinta. Intinya, terbuat dari apakah cinta itu? Hanya pertanyaan yang tidak bisa dijawab yang melambangkan kemayaan sebuah cinta.

Dalam buku ini, sang penulis akan berbagi dan memberikan secuil inspirasi berupa pengalaman real atau nyata dalam menjawab problematika yang cukup kontradiktif dengan kaidah – kaidah cinta yang kita pegang selama ini. Pengalaman – pengalaman itu akan terbagi dalam beberapa bab pengalaman yang pastinya ada di dalam cinta.

LUNTURNYA APRESIASI MASYARAKAT KOTA TERHADAP PEMULUNG

oleh Samudra Bayu

Latar Belakang
Masyarakat perkotaan sudah pasti memiliki beragam opini tentang pemulung. Banyak yang beranggapan negatif mengenai pekerjaan yang satu ini, tetapi ada pula yang tetap mengapresiasi pekerjaan ini. Berbicara mengenai apresiasi terhadap pemulung, seringkali hal yang sederhana ini terlupakan oleh sebagian besar masyarakat kota, tak terkecuali kota Surakarta. Masyarakat cenderung mengabaikan peran dari pemulung yang sesungguhnya cukup besar dalam kaitannya dengan rantai daur ulang yang menjadi salah satu problema fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Lazimnya manusia pada umumnya, apresiasi yang diterima pemulung baik dari seseorang maupun dari sekelompok orang tentu akan membangkitkan kepercayaan diri dan motivasi karena adanya pengakuan keberadaan serta peran dari pemulung. Menarik untuk diamati bahwa kecenderungan sikap masyarakat perkotaan, dalam hal ini masyarakat kota Surakarta mencerminkan minimnya/lunturnya apresiasi terhadap pemulung.

 Permasalahan yang dihadapi
Dalam realita di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan pengetahuan. Disisi lain, keberadaan pemulung dianggap mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Bagi pemulung, adanya anggapan positif atau negatif dari masyarakat tidak menjadi masalah berarti. Dari hasil usaha sendiri para pemulung dapat hidup, setidaknya bukan dari hasil minta-minta.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis, komunitas pemulung tersebut mayoritas adalah petani yang sedang merantau sembari menunggu musim panen, sedangkan sisanya merupakan murni pemulung. Ketika musim panen tiba, para petani ini akan kembali ke kampung halamannya untuk mengurus sawah dan hasil panen. Para petani ini menjadikan pemulung sebagai pekerjaan sampingan karena tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin besar dan mereka memiliki pandangan bahwa memulung merupakan alternatif terbaik. Hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa para pemulung tersebut memang benar-benar bergelut dengan kesulitan hidup yang semakin hari semakin menjepit. Perjuangan hidup komunitas pemulung menunjukkan bahwa ada keseriusan usaha yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan diatas.
Situasi dan kondisi sulit yang dialami pemulung seperti itupun, juga masih semakin dipersulit dengan sikap dan perilaku masyarakat pada umumnya, yang terwujud konkret dalam bentuk pelarangan terhadap pemulung. Adapun pelarangan ini terwakili melalui tulisan-tulisan pada semacam papan yang terpampang jelas hampir di setiap ruas gang ataupun persimpangan-persimpangan di daerah pemukiman warga seperti dalam perkampungan dan perumahan, yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
Menurut hasil wawancara dengan komunitas pemulung tersebut, memang pelarangan seperti itu berdampak pada penghasilan pemulung, karena para pemulung sendiri seakan dibuat patuh terhadap aturan tersebut. Para pemulung ini merasa prekewuh apabila melanggar walaupun hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan warga, semisal saat kampung dalam situasi sepi. Hal kepatuhan seperti ini tidak hanya terjadi di komunitas pemulung daerah Tipes saja, tetapi juga di daerah lain seperti Mojosongo menurut salah seorang pemulung yang memiliki kawan sesama pemulung di daerah tersebut. Para pemulung ini memegang komitmen enggan “berurusan” dengan warga karena memang belajar dari pengalaman ketika beberapa dari mereka mendapatkan teguran kurang lebih tiga kali dari warga ketika nekat terhadap larangan tersebut, tentunya dalam waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Situasi seperti diatas menjadi gambaran lunturnya apresiasi masyarakat terhadap pemulung beserta wujudnya.

Klasifikasi Dampak dari Permasalahan
Dampak permasalahan tersebut secara sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya :
1.             Dampak Sosial-ekonomi: penghasilan pemulung yang tidak menentu dan cenderung berkurang sehingga akan menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
2.             Dampak Sosial-politik: semakin berkembangnya larangan bagi pemulung untuk memasuki kawasan pemukiman warga.
3.             Dampak Sosial-budaya: masyarakat semakin tidak menghargai pemulung serta memiliki pandangan yang rendah terhadap pemulung atau meremehkan pemulung. Pada akhirnya kepekaan sosial dan moral dalam menyikapi hal ini juga akan semakin rendah.

Analisis Permasalahan
Inti Permasalahan
Setelah melakukan beberapa analisis tentang keprihatinan ini, maka diketemukanlah alur permasalahan yang dapat dirangkai dalam pola pikir yang dapat dilihat dari skema berikut :


  


Suatu keputusan mengenai adanya pelarangan yang diperuntukkan kepada pemulung sungguh mencerminkan realita masyarakat perkotaan, tanpa terkecuali masyarakat kota Surakarta, telah melunturkan diri terhadap apresiasi akan perjuangan hidup salah satunya seperti yang diperlihatkan pemulung. Mengumpulkan berbagai macam barang dari berbagai lokasi tempat pembuangan sampah di kota yang masih memiliki nilai jual yang kemudian disalurkan ke tempat-tempat produksi/daur ulang memerlukan kesabaran, kekuatan, dan daya juang yang tinggi dan itu secara implisit tercermin dalam diri para pemulung.  Jiwa struggle seperti yang dimiliki komunitas pemulung tersebut tentunya patut dan harus diapresiasi bersama. Wujud apresiasi tidaklah melulu melalui bantuan langsung untuk kesejahteraan ataupun penghargaan, namun hanyalah sebuah hal kecil nan simple yang justru dilupakan dan tidak diperhatikan oleh mayoritas masyarakat, yaitu dengan tidak membatasi ruang gerak pemulung untuk mencari nafkahnya. Masyarakat yang memiliki kepekaan sosial tinggi tentu akan sadar bahwa adanya pelarangan terhadap pemulung semakin membatasi ruang gerak pemulung, sudah tentu imbasnya langsung dan nyata pada penghasilan pemulung.
Selain itu, perlu disadari bersama pula bahwa adanya pemulung turut membantu salah satu problematika kehidupan yang sulit ditangani oleh pemerintah pada umumnya, yakni sampah. Mungkin timbul pemikiran bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pengelolaan sampah sehingga problem ini menjadi salah satu dari sekian problema besar dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah seharusnya ada opsi menjadikan pemulung sebagai bagian dari solusi itu. Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak Dinas Kebersihan Perkotaan membantu mengurangi jumlah sampah khususnya sampah plastik sehingga dapat meminimalisir pencemaran lingkungan karena perannya sebagai ujung tombak dari rantai daur ulang barang bekas.
Dalam konteks luasnya, segala macam kebijakan masyarakat dan pemerintah perlu mengedepankan kebaikan bersama. Pemulung juga manusia yang membutuhkan sentuhan sosial yang dapat memacu semangat hidupnya. Karena sebagaimana termuat dalam undang-undang bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan hidupnya selama tidak menyalahi kaidah atau norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini,  suatu ketidakadilan benar-benar nyata ditujukan kepada kaum pemulung. Pemulung memang suatu pekerjaan yang memang mendapat pandangan yang kurang baik di mata masyarakat. Pekerjaan yang sesungguhnya halal namun justru dipandang suatu pekerjaan yang seakan tabu dan tak pantas. Berbicara mengenai pelarangan tersebut, ada benarnya pula masyarakat membuat larangan tersebut karena berkaca pada peristiwa yang pernah terjadi misalnya sampah beberapa warga yang berserakan kembali dari tempatnya, ataupun pencurian, yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat dan bahkan menjadi peristiwa yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa jadi pemulung menjadi salah satu sorotan dalam hal tersebut.
Namun alangkah kurang bijaksana jikalau hanya karena berkaca pada hal seperti itu kemudian langsung mengambil langkah pelarangan terhadap pemulung untuk memasuki suatu pemukiman warga tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu. Sejatinya, masyarakat membutuhkan  pemahaman kembali bahwa suatu tindakan dilakukan oleh karena adanya peluang. Ketika situasi dan kondisi pemukiman terkontrol dengan baik, otomatis tindakan kriminal seperti pencurian juga akan minim. Baik tidaknya kontrol ini juga tergantung pada tanggap atau tidaknya setiap individu sebagai warga masyarakat. Permasalahan mendasar daripada tanggap atau tidaknya setiap individu terletak pada kesadaran dan kepekaan sosial serta moral, sehingga inilah yang sekiranya menjadi fokus utama sebagai langkah solutif terkait dengan hal tersebut.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan teori perilaku yang dikembangkan oleh Fishbein (1980). Dalam pendapatnya, perilaku erat kaitannya dengan niat. Sedangkan niat akan ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisa menjelaskan secara langsung terhadap perilaku. Di samping itu, niat seseorang untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang datang dari dalam diri, yaitu sikap. Yang kedua adalah sesuatu yang datang dari luar, yakni persepsi tentang pendapat orang lain terhadap dirinya, dalam kaitan dengan perilaku yang diperbincangkan atau dengan kata lain hal yang kedua ini biasa disebut norma subjektif. Teori Fishbein dapat digambarkan sebagai berikut:

Sikap merupakan satu konsep kesatuan dengan moral dimana moral dapat dikatakan sebagai landasan dalam bersikap. Dengan kata lain, pemahaman dan pendidikan yang mendalam mengenai moral sejatinya sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap sikap yang diambil. Ketika moral telah terbentuk dengan baik, selanjutnya akan terbentuk kepekaan dalam bersikap dan menyikapi kejadian ataupun hal-hal yang ada.

Kesimpulan
Lunturnya apresiasi masyarakat kota terhadap pemulung adalah salah satu contoh akibat dari minimnya kesadaran dan kepekaan sosial dengan dilandasi ketidakmatangan moral. Sebutir hal yang seharusnya menjadi konsentrasi dalam bagian pembangunan karakter manusia Indonesia yang cerdas, luhur, dan berbudaya. Pembangunan dimensi kepribadian tersebut haruslah mengedepankan dan  menargetkan terpenuhinya aspek-aspek humanis secara pas dan seimbang yang tentunya hanya dapat tercapai dengan didahului oleh adanya kesadaran bersama untuk merekonstruksi pendidikan dengan dasar pembangunan moral yang utama dilakukan dalam bingkai dimensi sosial-humanis.
Saran
Kesadaran dan kepekaan sosial masyarakat kota terhadap peran pemulung dapat dikatakan masih rendah dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah setiap insan masyarakat akan perlunya pembinaan moral sedari dini dalam berbagai upaya yang relevan sehingga dapat terbentuk kecerdasan sosial dan moral yang baik, kuat dan mengakar dalam diri masyarakat.
 Referensi: 
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta:Tiara Wacana
Kieser, Bernhard. 1987. Moral Sosial. Yogyakarta: Pustaka Teologi

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

Semangat untuk Sahabatku


Berguyurkan deras hujan
lunturkan dendam dan kebencian
Hilangkan setitik perbedaan
tetap bertahan dan teruslah berjalan

Janganlah menangis tetaplah berdiri
Slalu Optimis tuk raih mimpi
Jalani hari dengan gagah berani
Melawan terik matahari

Meski tak ada satupun yang mau peduli
Jangan berhenti dan slalu mantapkan hati

Ayo kawan! Ayo Semangat!
Kita bulatkan tekad
Kita satu! Harus menyatu!
You’re just too good to be true


December 31, 2009

Selasa, 24 Juni 2014

SUNAN GRESIK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Berbicara mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa dapat dikatakan sama dengan berbicara mengenai peranan para wali dalam penyebaran Islam, khususnya dalam hal ini adalah peranan Wali Sanga. Karena melalui Wali Sanga itulah, syiar Islam dapat berkembang di Pulau Jawa. Walaupun sesungguhnya para wali tidak hanya Wali Sanga namun kesembilan wali inilah yang memiliki peranan vital terkait dengan keberhasilan strategi dakwah Islam yang berbasis pendekatan kultural. Di kalangan masyarakat, para wali yang terkenal adalah Wali Sanga yang berjumlah sembilan orang, yakni mereka yang bergelar Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden Syahid), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Dalam makalah ini, penulis tidak akan menguraikan satu per satu dari Wali Sanga, akan tetapi hanya Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) yang akan dibahas mengingat bahwa Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Sanga dan mempelopori strategi dakwah yang selanjutnya diteruskan oleh para wali sesudahnya.
  
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana asal-usul Sunan Gresik?
2.      Bagaimana metode, sarana, dan usaha Sunan Gresik dalam berdakwah?
3.      Bagaimana akhir hayat Sunan Gresik?
4.      Apa saja peninggalan Sunan Gresik?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.      Untuk mengetahui asal-usul Sunan Gresik.
2.      Untuk memahami metode, sarana, dan usaha Sunan Gresik dalam berdakwah.
3.      Untuk mengetahui akhir hayat Sunan Gresik.
4.      Untuk mengetahui peninggalan-peninggalan Sunan Gresik.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Asal-usul Sunan Gresik
Biodata Sunan Gresik
Nama
:
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Wafat
:
1419 M
Tempat Pemakaman
:
Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur
Ayah
:
Raden Jumadil Qubra (Maulana Akbar)
Istri
:
Dewi Candrawulan (Ratna Dyah Siti Asmara)
Anak
:
Raden Santri Ali
:
Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Gelar atau Nama Lain
:
Sunan Tandhes
:
Sunan Gribigh
:
Sunan Raja Wali
:
Wali Quthub
:
Mursyidul Auliya’ Wali Sanga
:
Sayyidul Auliya’ Wali Sanga
:
Maulana Maghribi
:
Syekh Maghribi
Jabatan
:
Pemimpin Wali Sanga
:
Pendiri dan Pengasuh Pesantren di Gresik

Ada beberapa alasan mengenai penyebutan nama-nama Sunan Gresik. Misalnya disebut Maulana atau Syekh Maghribi karena beliau dianggap berasal dari daerah Maghrib, Maroko, Afrika. Dalam pengucapan orang Jawa, Maulana Maghribi disebut Maulana atau Sunan Gribigh. Masyarakat menjuluki beliau si Kakek Bantal lantaran beliau adalah tempat berkeluh kesah masyarakat dan tempat menyandarkan diri saat pikiran sedang kacau.
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa nama Malik Ibrahim tak lain adalah Makdum Ibrahim Asmara. Kata “Asmara” merupakan pengucapan Jawa. Kata “Asmara” adalah kependekan dari Asmarakandi mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, lalu berubah menjadi Asmarakandi. Asmarakandi diambil dari nama sebuah kota Samarkand di Republik Uzbekistan. Bukti dari nama ini menjadi penolakan atas anggapan sebagian orang bahwa beliau berasal dari Arab. Sebagian riwayat juga ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Turki dan dalam rangka menyebarluaskan agama Islam beliau datang ke tanah Jawa sebagai utusan dakwah Khalifah Turki Utsmani.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa asal usul daerah kelahiran Maulana Malik Ibrahim masih belum jelas dalam sejarah. Namun, para sejarawan sepakat bahwa beliau bukanlah asli orang Jawa, tetapi merupakan pendatang di tanah Jawa. Ayah Sunan Gresik bernama Raden Jumadil Qubra atau Syekh Maulana Jumadil Kubro yang diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad Saw. dan silsilah beliau dianggap sebagai keturunan Rasulullah Saw.
Sebelum datang ke Jawa Timur, Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 hingga 1392 M, dalam misi syiar Islam. Beliau dinikahkan oleh raja Campa dengan putri raja Campa yang bernama Dewi Candrawulan. Dari perkawinan ini lahir dua putra, yaitu Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Karena merasa telah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya di negeri Campa. Beliau tiba di Jawa pada abad ke-15, atau tepatnya tahun 1404 M.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan wali yang tertua dari Wali Sanga. Dari beliau, lahir anak-cucu yang diantaranya termasuk dalam Wali Sanga. Adapun Wali Sanga ini tidak hidup bersamaan, akan tetapi di antara mereka terjalin hubungan erat, yaitu ada yang memiliki hubungan darah (ayah-anak-cucu), guru-murid, atau persahabatan. Urutan keterkaitan di antara Wali Sanga tersebut adalah Sunan Gresik sebagai yang tertua. Sunan Ampel adalah putra dari Sunan Gresik. Sunan Giri adalah keponakan Sunan Gresik. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan yang telah disebut, kecuali Maulana Malik Ibrahim karena lebih dulu meninggal. Sunan Gresik sebagai wali tertua tentu memiliki pengaruh terhadap para wali setelahnya, terutama yang berkaitan dengan metode dakwah.

2.2  Metode, Sarana, dan Usaha-usaha Sunan Gresik dalam Berdakwah
Ada beberapa ciri khas yang digunakan oleh Wali Sanga sehingga agama Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Jawa tanpa harus melalui pertumpahan darah, seperti berperang, menindas, menjajah, melakukan kekerasan, pemaksaan, atau dengan embargo ekonomi, hal-hal yang sangat dihindari oleh Wali Sanga dalam misi syiar Islam di pulau Jawa. Ciri khas tersebut adalah berdakwah dengan melihat kebijaksanaan hidup, memakai pendekatan kultural, membantu masyarakat miskin, dan menjalin persaudaraan antar elemen masyarakat.
Beberapa metode dakwah tersebut tidak lahir begitu saja dari hasil pemikiran Wali Sanga. Metode tersebut memang sudah tertanam dalam ajaran Islam dan diteladankan langsung oleh Rasulullah Saw. Berdakwah dengan bijaksana memang diperintahkan oleh Allah Swt. Metode dakwah dengan bijaksana ini termuat dalam firman-Nya sebagai berikut:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]:125).

Dalam ayat tersebut, Allah Swt. memerintahkan agar manusia menyeru atau berdakwah untuk mengikuti jalan Tuhan dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Pelajaran yang baik adalah tingkah laku yang baik ketika berdakwah. Artinya, berdakwah tidak dengan kekerasan atau segala hal yang dapat menyakiti orang-orang. Sebagai wali tertua, Sunan Gresik telah mengawali dakwahnya dengan damai, penuh kebijaksanaan, dan melalui pendekatan kultural. Metode dan pendekatan semacam ini terus dipertahankan oleh para wali sesudahnya. Berikut beberapa metode, sarana, dan usaha-usaha yang dilakukan Sunan Gresik dalam berdakwah:
a.      Mempelajari Adat Istiadat Setempat
Awalnya, siapa saja yang datang ke tempat baru,  akan merasakan kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Hal ini terjadi lantaran adanya kekhawatiran akan salah tingkah ataupun sesuatu yang dilakukan tidak sesuai dengan adat istiadat masyarakat di wilayah yang baru ditempati. Demikian pula halnya yang terjadi pada Sunan Gresik. Karena beliau bukan merupakan orang Jawa, tentu harus mengadakan adaptasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sebelum mengawali dakwahnya. Sebab beliau paham betul bahwa setiap negara memiliki aturan tersendiri dengan negara lain. Bahkan, setiap desa di suatu negara memiliki adat istiadat yang berbeda dengan desa yang lain. Untuk itu, Sunan Gresik mempelajari bahasa Jawa, mengenali adat istiadat tempat beliau tinggal, serta mempelajari kehidupan masyarakat, baik dari segi mata pencahariannya, pandangan hidupnya, dsb. dengan harapan bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih berhati-hati dan tidak terjerumus dalam kesalahan yang dapat membuat masyarakat membencinya. 
b.      Membuka Warung
Di wilayah yang baru ditempati, mula-mula Sunan Gresik membuka warung untuk berjualan makanan dan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Berjualan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh Sunan Gresik dalam misi dakwahnya. Sebagai pendatang, tentu tidak mudah bagi beliau untuk langsung menjalankan misi dakwah. Oleh karena itu, diperlukan keakraban terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Bagi Sunan Gresik, berjualan merupakan cara yang cukup efektif dalam upaya mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Dari berjualan, Sunan Gresik dapat membangun relasi yang baik dengan masyarakat serta dapat mempelajari segala hal pada masyarakat yang menjadi konsumennya, yakni mulai dari nama orang-orang, keluarganya, kondisi kehidupannya termasuk situasi sosial-ekonominya, wataknya, bahkan kalau perlu hal-hal yang bersifat pribadi juga beliau coba ketahui. Perlu dipahami bahwa motif dalam pendirian warung tersebut bukanlah untuk mencari keuntungan tetapi sebagai sarana dalam menyiarkan agama Islam sehingga apapun yang beliau perdagangkan, dijual dengan harga yang murah. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan masyarakat setempat.
c.       Membuka Lahan Pertanian
Sunan Gresik adalah orang yang ahli dalam pertanian. Beliau mampu memanfaatkan tanah di Jawa yang subur untuk menanam tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti padi, umbi-umbian, dsb. Bahkan beliau merupakan orang pertama yang memiliki gagasan untuk mengalirkan air dari gunung untuk menunjang irigasi lahan pertanian penduduk. Kehadiran Sunan Gresik di tanah Jawa benar-benar menjadi berkah dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hasil pertanian menjadi semakin meningkat, sehingga banyak orang yang menaruh perhatian dan ingin belajar kepada beliau.
d.      Menjadi Tabib
Selain handal dalam perdagangan dan pertanian, Sunan Gresik juga cukup piawai dalam menangani masalah kesehatan. Dengan racikan obat yang dibuat beliau, hampir seluruh orang yang berobat mendapatkan kesembuhan. Dalam menjalankan praktik pengobatan, beliau tidak memungut biaya. Oleh karena keikhlasan pelayanan inilah yang semakin menempatkan posisi Sunan Gresik menjadi orang yang disegani dan terkenal dalam masyarakat. Kharisma beliau semakin kuat seiring dengan keberhasilan dalam mengobati berbagai penyakit dan menjadikan Sunan Gresik sebagai sandaran hidup masyarakat.
e.       Hidup dengan Sederhana
Hidup dengan sederhana bukan berarti tidak memiliki apa-apa. Hidup sederhana menandakan bahwa orang itu tidak tergantung terhadap materi. Orang yang mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap materi akan mencapai kebahagiaan sejati. Sebab, selama manusia masih tergantung pada materi, hidupnya tidak akan pernah puas. Selain itu, dengan hidup sederhana, seseorang dapat membuka pergaulan seluas-luasnya. Sebaliknya, hidup yang terbelenggu dalam kemewahan identik dengan kehidupan para elite sehingga masyarakat kelas bawah enggan untuk bergaul dengan para elite. Sunan Gresik sebagai ulama yang akan menjadi panutan seluruh elemen masyarakat tentu bukan kebetulan memilih hidup sederhana. Beliau mengetahui bahwa dengan hidup sederhana, dapat membangun relasi dengan siapa saja, baik di tingkat elite maupun tingkat bawah. Masyarakat menjadi tidak segan untuk bergaul dengan beliau, karena masyarakat memiliki pandangan bahwa beliau adalah sederajat dengannya dalam ranah sosial.
f.       Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta)
Dalam kehidupan masyarakat di wilayah Sunan Gresik tinggal, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap perbedaan kelas sosial. Ada masyarakat yang diposisikan kelas sosialnya sebagai masyarakat rendah, tengah, dan tinggi. Masyarakat rendah memiliki nasib yang malang karena tidak dapat menikmati hak-hak asasi manusia. Mereka dianggap tidak berguna oleh masyarakat pada kelas yang lebih tinggi lantaran kelas sosialnya yang rendah. Umumnya, masyarakat yang menempati kelas sosial rendah adalah para budak dan petani. Sebagai orang Islam, tentu Sunan Gresik tidak setuju dengan situasi tersebut. Di dalam agama Islam, tidak ada perbedaan kelas, yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah dalam hal ketakwaannya. Oleh karena itu, Sunan Gresik yang jika dilihat dari kepercayaan masyarakat setempat, sebagai orang yang memiliki kelas sosial tinggi karena beliau tergolong kaya dan menantu raja, tetapi memposisikan diri sebagai orang yang sederajat dengan siapapun, termasuk dengan masyarakat yang dianggap memiliki kelas sosial rendah. Kemudian, beliau mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat bahwa dalam Islam derajat setiap manusia adalah sama dan selanjutnya banyak orang yang tertarik untuk masuk Islam. Dalam hal ini, Sunan Gresik telah membantu masyarakat kelas tinggi keluar dari kezaliman karena merendahkan masyarakat pada kelas sosial yang lebih rendah, dan mengangkat derajat masyarakat yang dianggap pada kelas sosial rendah pada posisi yang sama dalam status hubungan sosial.

g.      Membangun Masjid dan Pesantren
Setelah para pengikut Islam semakin banyak, Sunan Gresik mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah, sarana berdakwah, dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Pada waktu itu, masyarakat Jawa sudah terbiasa menetap di tempat gurunya yang mengajarkan ilmu. Ada tempat-tempat khusus yang disediakan oleh para guru untuk menampung murid yang ingin belajar kepadanya. Sunan Gresik yang mengetahui adat kebiasaan ini, kemudian mendirikan pesantren sebagai tempat murid atau santri yang menginginkan belajar ilmu agama kepada beliau. Banyak orang yang ingin mendalami Islam di pesantren yang didirikan Sunan Gresik, baik yang datang dari desa setempat maupun dari desa di lain daerah. Dari pesantren yang didirikan beliau ini, lahirlah para wali dan ulama yang meneruskan perjuangan dakwahnya, menyebarluaskan Islam ke berbagai daerah di Nusantara.

h.      Mengajarkan Islam dengan Mudah
Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat awam, Sunan Gresik memiliki prinsip mengajarkan ilmu dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Beliau tidak mengajarkan Islam secara rumit dan teoretis. Artinya, beliau mengajarkan agama Islam dengan disertai contoh praktis yang mudah dipahami dan dimengerti. Dalam mengajarkan Islam, beliau juga tidak menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan ancaman, melainkan disampaikan dengan gembira sebagaimana pesan Rasulullah Saw. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Stamford Raffles dalam bukunya History of Java, yang dikutip Arman Arroisi, ketika Sunan Gresik ditanya siapakah Allah itu? Beliau tidak menjawab bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar, yang akan menyiksa orang-orang yang membangkang dan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbakti. Melainkan, beliau menjawab secara sederhana, “Allah adalah Dzat yang diperlukan ada-Nya.”  
Dengan beberapa metodologi tersebut, Sunan Gresik telah berandil besar mengembangkan Islam di Pulau Jawa dengan cukup pesat. Hal tersebut terjadi karena Islam disampaikan dengan santun dan penuh kebijaksanaan beliau, sebagaimana yang memang dianjurkan oleh Allah Swt. Dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.
2.3    Akhir Hayat Sunan Gresik
Sunan Gresik yang telah memperjuangkan syiar agama Islam di Jawa, wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal 822 H atau 1419 M. beliau dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Pada bingkai nisannya, tertulis beberapa ayat al-Qur’an, yaitu QS. Ali ‘Imran [3]:185, QS. ar-Rahman [55]:26-27, dan QS. at-Taubah [9]:21-22. Sedangkan, pada batu nisannya terdapat inskripsi sebagai berikut:
Inilah makam almarhum al-maghfur yang mengharapkan rahmat Tuhan, kebanggaan pangeran-pangeran, sendi sultan dan menteri-menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kaki Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 822 H.”
Batu nisan Sunan Gresik menjadi bahan penelitian karena memiliki keunikan tersendiri, yang berbeda dengan nisan-nisan bentukan orang-orang Jawa. Oleh sebab itu, dicarilah asal usul batu nisannya. Mengenai asal batu nisan Sunan Gresik, terdapat tiga pendapat sebagai berikut:
·         Ada yang mengatakan bahwa batu nisan Sunan Gresik tersebut berasal dari Pasai. Pasai terletak di pesisir pantai utara Sumatra, di sekitar Lhokseumawe dan Aceh Utara, Aceh, Indonesia.
·         Ada yang berpendapat bahwa batu nisan yang terdapat di Pasai dan Gresik menunjukkan persamaan dengan batu nisan di India. Sehingga, diduga batu nisan Sunan Gresik berasal dari Cambay (India). Pendapat ini berdasarkan pada persamaan gaya tulisannya.
·         Ada yang berkeyakinan bahwa batu nisan Sunan Gresik terbuat dari marmer dan dipastikan berasal dari Cambay.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai asal-usul batu nisan Sunan Gresik tersebut, tidak menjadi persoalan bagi bukti keberadaan Sunan Gresik di Pulau Jawa. Karena, yang terpenting dari adanya batu nisan tersebut adalah menjadi bukti keberadaan sang Sunan di Pulau Jawa.

2.4    Peninggalan Sunan Gresik
Berikut adalah beberapa peninggalan Sunan Gresik:
1.      Makam
Makam Sunan Gresik yang terletak di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur, termasuk salah satu peninggalan berharga dari beliau. Sebab, makam tersebut menjadi bukti sejarah adanya wali pertama yang menyebarkan Islam di Indonesia. Selain itu, dari makam tersebut, ditemukan bukti-bukti sejarah mengenai masuknya Islam ke Indonesia.
2.      Gapura Paduraksa
Gapura Paduraksa terdapat di pintu masuk makam Sunan Gresik. Gapura Paduraksa tersebut tersusun atas susunan batu bata. Pada sisi kanan bawah gapura, terdapat prasasti pendek bertuliskan angka tahun Jawa Kuna 1340 Saka/1419 M. Tahun ini sama dengan tahun wafatnya Sunan Gresik.
3.      Sumur Gembyang
Di dekat makam Sunan Gresik, terdapat sumur yang disebut Sumur Gembyang. Sumur ini dipercaya sebagai salah satu peninggalan Sunan Gresik karena dibuat oleh beliau. Sekarang, sumur yang dikeramatkan tersebut ditutup karena untuk menghindari potensi terjadinya syirik. Walaupun demikian, para peziarah masih dapat mengambil air sumur tersebut.
4.      Bedug
Salah satu peninggalan yang dihubungkan dengan Sunan Gresik adalah bedug, yang lazimnya ditabuh untuk menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan saat hari raya. Bedug yang dianggap buatan Sunan Gresik semula berada di Masjid Pesucinan, namun sekarang disimpan di Museum Sunan Giri.
5.      Masjid Pesucinan
Masjid yang berlokasi di Dusun Pesucinan, Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai salah satu peninggalan Sunan Gresik. Walaupun demikian, tidak banyak catatan sejarah yang menceritakan mengenai keberadaan Masjid Pesucinan ini, sehingga tidak ada bukti valid yang dapat membenarkan kepercayaan penduduk setempat. Akan tetapi, bila mengacu pada perjalanan Sunan Gresik ke Pulau Jawa, maka daerah yang dituju pertama kali adalah Desa Sembalo yang berada dalam kekuasaan Majapahit, dan sekarang merupakan Desa Leran, Kecamatan Manyar, atau 9 kilometer dari pusat Kota Gresik. Adapun nama Pesucinan diambil karena memiliki makna bahwa masjid tersebut bertujuan untuk menyucikan masyarakat setempat yang awalnya mayoritas beragama Hindu-Budha. Selain itu, dikatakan Pesucinan karena masjid ini berdekatan dengan kolam untuk berwudhu atau menyucikan diri. Adapun yang diduga kuat sebagai peninggalan Sunan Gresik yang sampai saat ini masih tetap asli dari bagian masjid yang sudah beberapa kali direhab adalah pucuk kubah masjid dan mimbar tempat penceramah.
6.      Kolam
Kolam yang berukuran 3 x 3 m dan terletak di dekat Masjid Pesucinan ini juga merupakan salah satu peninggalan Sunan Gresik. Masyarakat setempat percaya bahwa kolam tersebut memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit, sebab rasa airnya berbeda dengan beberapa kolam yang ada di sisi kiri dan kanan masjid serta kolam atau sumur baru buatan warga. Hal ini karena air dari kolam tersebut rasanya tawar, meskipun di sisi kiri dan kanan masjid dikelilingi tambak. Sedangkan, apabila warga membuat kolam atau sumur baru, airnya berasa asin. Oleh karena kondisi tersebut, masyarakat setempat berkeyakinan bahwa kolam tersebut merupakan buatan asli dari Sunan Gresik.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) atau lebih dikenal dengan sebutan Maulana Maghribi walaupun belum diketahui secara pasti mengenai asal-usul beliau, namun peranannya dalam menyebarluaskan Islam di tanah Jawa sangat besar. Dilatar belakangi kesuksesan dalam misi Islamisasi di negeri Campa, Sunan Gresik hijrah ke Jawa dalam misi suci yang sama. Sunan Gresik menjadi peletak dasar dan pelopor syiar Islam berbasis pendekatan kultural yang selanjutnya diteruskan oleh para wali setelahnya. Semasa hidupnya, Sunan Gresik dikenal sebagai orang yang sangat ahli di bidang agama Islam dan begitu pandai dalam menarik simpati masyarakat Jawa, sehingga dakwahnya diminati oleh banyak orang. Beliau juga merupakan pribadi yang santun, saleh, penolong, dan penyabar. Sunan Gresik menggunakan cara berdakwah dengan bijaksana untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat yang belum begitu mengenal agama Islam melalui metode dan strategi yang telah beliau persiapkan dengan baik. Pada tahun 1419 M, Sunan Gresik wafat dan makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Adapun beberapa peninggalan Sunan Gresik antara lain Masjid Pesucinan, Kolam, Sumur Gembyang, dan Bedug.





DAFTAR PUSTAKA


Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Sanga: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta:Panji Pustaka.
Ridin Sofwan dkk. 2004. Islamisasi di Jawa: Wali Sanga, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hariwijaya, M. 2007. Wali Sanga Penyebar Islam di Nusantara. Yogyakarta:Pustaka Insan Madani.
http://nu.or.id  diakses pada 26/11/2013 pukul 14.10 WIB
http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/29/syekh-maulana-malik-ibrahim-512787.html        diakses pada 26/11/2013  pukul 19.24 WIB