Rabu, 25 Juni 2014

LUNTURNYA APRESIASI MASYARAKAT KOTA TERHADAP PEMULUNG

oleh Samudra Bayu

Latar Belakang
Masyarakat perkotaan sudah pasti memiliki beragam opini tentang pemulung. Banyak yang beranggapan negatif mengenai pekerjaan yang satu ini, tetapi ada pula yang tetap mengapresiasi pekerjaan ini. Berbicara mengenai apresiasi terhadap pemulung, seringkali hal yang sederhana ini terlupakan oleh sebagian besar masyarakat kota, tak terkecuali kota Surakarta. Masyarakat cenderung mengabaikan peran dari pemulung yang sesungguhnya cukup besar dalam kaitannya dengan rantai daur ulang yang menjadi salah satu problema fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Lazimnya manusia pada umumnya, apresiasi yang diterima pemulung baik dari seseorang maupun dari sekelompok orang tentu akan membangkitkan kepercayaan diri dan motivasi karena adanya pengakuan keberadaan serta peran dari pemulung. Menarik untuk diamati bahwa kecenderungan sikap masyarakat perkotaan, dalam hal ini masyarakat kota Surakarta mencerminkan minimnya/lunturnya apresiasi terhadap pemulung.

 Permasalahan yang dihadapi
Dalam realita di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan pengetahuan. Disisi lain, keberadaan pemulung dianggap mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Bagi pemulung, adanya anggapan positif atau negatif dari masyarakat tidak menjadi masalah berarti. Dari hasil usaha sendiri para pemulung dapat hidup, setidaknya bukan dari hasil minta-minta.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis, komunitas pemulung tersebut mayoritas adalah petani yang sedang merantau sembari menunggu musim panen, sedangkan sisanya merupakan murni pemulung. Ketika musim panen tiba, para petani ini akan kembali ke kampung halamannya untuk mengurus sawah dan hasil panen. Para petani ini menjadikan pemulung sebagai pekerjaan sampingan karena tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin besar dan mereka memiliki pandangan bahwa memulung merupakan alternatif terbaik. Hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa para pemulung tersebut memang benar-benar bergelut dengan kesulitan hidup yang semakin hari semakin menjepit. Perjuangan hidup komunitas pemulung menunjukkan bahwa ada keseriusan usaha yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan diatas.
Situasi dan kondisi sulit yang dialami pemulung seperti itupun, juga masih semakin dipersulit dengan sikap dan perilaku masyarakat pada umumnya, yang terwujud konkret dalam bentuk pelarangan terhadap pemulung. Adapun pelarangan ini terwakili melalui tulisan-tulisan pada semacam papan yang terpampang jelas hampir di setiap ruas gang ataupun persimpangan-persimpangan di daerah pemukiman warga seperti dalam perkampungan dan perumahan, yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
Menurut hasil wawancara dengan komunitas pemulung tersebut, memang pelarangan seperti itu berdampak pada penghasilan pemulung, karena para pemulung sendiri seakan dibuat patuh terhadap aturan tersebut. Para pemulung ini merasa prekewuh apabila melanggar walaupun hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan warga, semisal saat kampung dalam situasi sepi. Hal kepatuhan seperti ini tidak hanya terjadi di komunitas pemulung daerah Tipes saja, tetapi juga di daerah lain seperti Mojosongo menurut salah seorang pemulung yang memiliki kawan sesama pemulung di daerah tersebut. Para pemulung ini memegang komitmen enggan “berurusan” dengan warga karena memang belajar dari pengalaman ketika beberapa dari mereka mendapatkan teguran kurang lebih tiga kali dari warga ketika nekat terhadap larangan tersebut, tentunya dalam waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Situasi seperti diatas menjadi gambaran lunturnya apresiasi masyarakat terhadap pemulung beserta wujudnya.

Klasifikasi Dampak dari Permasalahan
Dampak permasalahan tersebut secara sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya :
1.             Dampak Sosial-ekonomi: penghasilan pemulung yang tidak menentu dan cenderung berkurang sehingga akan menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
2.             Dampak Sosial-politik: semakin berkembangnya larangan bagi pemulung untuk memasuki kawasan pemukiman warga.
3.             Dampak Sosial-budaya: masyarakat semakin tidak menghargai pemulung serta memiliki pandangan yang rendah terhadap pemulung atau meremehkan pemulung. Pada akhirnya kepekaan sosial dan moral dalam menyikapi hal ini juga akan semakin rendah.

Analisis Permasalahan
Inti Permasalahan
Setelah melakukan beberapa analisis tentang keprihatinan ini, maka diketemukanlah alur permasalahan yang dapat dirangkai dalam pola pikir yang dapat dilihat dari skema berikut :


  


Suatu keputusan mengenai adanya pelarangan yang diperuntukkan kepada pemulung sungguh mencerminkan realita masyarakat perkotaan, tanpa terkecuali masyarakat kota Surakarta, telah melunturkan diri terhadap apresiasi akan perjuangan hidup salah satunya seperti yang diperlihatkan pemulung. Mengumpulkan berbagai macam barang dari berbagai lokasi tempat pembuangan sampah di kota yang masih memiliki nilai jual yang kemudian disalurkan ke tempat-tempat produksi/daur ulang memerlukan kesabaran, kekuatan, dan daya juang yang tinggi dan itu secara implisit tercermin dalam diri para pemulung.  Jiwa struggle seperti yang dimiliki komunitas pemulung tersebut tentunya patut dan harus diapresiasi bersama. Wujud apresiasi tidaklah melulu melalui bantuan langsung untuk kesejahteraan ataupun penghargaan, namun hanyalah sebuah hal kecil nan simple yang justru dilupakan dan tidak diperhatikan oleh mayoritas masyarakat, yaitu dengan tidak membatasi ruang gerak pemulung untuk mencari nafkahnya. Masyarakat yang memiliki kepekaan sosial tinggi tentu akan sadar bahwa adanya pelarangan terhadap pemulung semakin membatasi ruang gerak pemulung, sudah tentu imbasnya langsung dan nyata pada penghasilan pemulung.
Selain itu, perlu disadari bersama pula bahwa adanya pemulung turut membantu salah satu problematika kehidupan yang sulit ditangani oleh pemerintah pada umumnya, yakni sampah. Mungkin timbul pemikiran bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pengelolaan sampah sehingga problem ini menjadi salah satu dari sekian problema besar dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah seharusnya ada opsi menjadikan pemulung sebagai bagian dari solusi itu. Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak Dinas Kebersihan Perkotaan membantu mengurangi jumlah sampah khususnya sampah plastik sehingga dapat meminimalisir pencemaran lingkungan karena perannya sebagai ujung tombak dari rantai daur ulang barang bekas.
Dalam konteks luasnya, segala macam kebijakan masyarakat dan pemerintah perlu mengedepankan kebaikan bersama. Pemulung juga manusia yang membutuhkan sentuhan sosial yang dapat memacu semangat hidupnya. Karena sebagaimana termuat dalam undang-undang bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan hidupnya selama tidak menyalahi kaidah atau norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini,  suatu ketidakadilan benar-benar nyata ditujukan kepada kaum pemulung. Pemulung memang suatu pekerjaan yang memang mendapat pandangan yang kurang baik di mata masyarakat. Pekerjaan yang sesungguhnya halal namun justru dipandang suatu pekerjaan yang seakan tabu dan tak pantas. Berbicara mengenai pelarangan tersebut, ada benarnya pula masyarakat membuat larangan tersebut karena berkaca pada peristiwa yang pernah terjadi misalnya sampah beberapa warga yang berserakan kembali dari tempatnya, ataupun pencurian, yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat dan bahkan menjadi peristiwa yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa jadi pemulung menjadi salah satu sorotan dalam hal tersebut.
Namun alangkah kurang bijaksana jikalau hanya karena berkaca pada hal seperti itu kemudian langsung mengambil langkah pelarangan terhadap pemulung untuk memasuki suatu pemukiman warga tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu. Sejatinya, masyarakat membutuhkan  pemahaman kembali bahwa suatu tindakan dilakukan oleh karena adanya peluang. Ketika situasi dan kondisi pemukiman terkontrol dengan baik, otomatis tindakan kriminal seperti pencurian juga akan minim. Baik tidaknya kontrol ini juga tergantung pada tanggap atau tidaknya setiap individu sebagai warga masyarakat. Permasalahan mendasar daripada tanggap atau tidaknya setiap individu terletak pada kesadaran dan kepekaan sosial serta moral, sehingga inilah yang sekiranya menjadi fokus utama sebagai langkah solutif terkait dengan hal tersebut.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan teori perilaku yang dikembangkan oleh Fishbein (1980). Dalam pendapatnya, perilaku erat kaitannya dengan niat. Sedangkan niat akan ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisa menjelaskan secara langsung terhadap perilaku. Di samping itu, niat seseorang untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang datang dari dalam diri, yaitu sikap. Yang kedua adalah sesuatu yang datang dari luar, yakni persepsi tentang pendapat orang lain terhadap dirinya, dalam kaitan dengan perilaku yang diperbincangkan atau dengan kata lain hal yang kedua ini biasa disebut norma subjektif. Teori Fishbein dapat digambarkan sebagai berikut:

Sikap merupakan satu konsep kesatuan dengan moral dimana moral dapat dikatakan sebagai landasan dalam bersikap. Dengan kata lain, pemahaman dan pendidikan yang mendalam mengenai moral sejatinya sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap sikap yang diambil. Ketika moral telah terbentuk dengan baik, selanjutnya akan terbentuk kepekaan dalam bersikap dan menyikapi kejadian ataupun hal-hal yang ada.

Kesimpulan
Lunturnya apresiasi masyarakat kota terhadap pemulung adalah salah satu contoh akibat dari minimnya kesadaran dan kepekaan sosial dengan dilandasi ketidakmatangan moral. Sebutir hal yang seharusnya menjadi konsentrasi dalam bagian pembangunan karakter manusia Indonesia yang cerdas, luhur, dan berbudaya. Pembangunan dimensi kepribadian tersebut haruslah mengedepankan dan  menargetkan terpenuhinya aspek-aspek humanis secara pas dan seimbang yang tentunya hanya dapat tercapai dengan didahului oleh adanya kesadaran bersama untuk merekonstruksi pendidikan dengan dasar pembangunan moral yang utama dilakukan dalam bingkai dimensi sosial-humanis.
Saran
Kesadaran dan kepekaan sosial masyarakat kota terhadap peran pemulung dapat dikatakan masih rendah dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah setiap insan masyarakat akan perlunya pembinaan moral sedari dini dalam berbagai upaya yang relevan sehingga dapat terbentuk kecerdasan sosial dan moral yang baik, kuat dan mengakar dalam diri masyarakat.
 Referensi: 
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta:Tiara Wacana
Kieser, Bernhard. 1987. Moral Sosial. Yogyakarta: Pustaka Teologi

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City - DrmCAD
    With more than 2,400 충주 출장마사지 slots, over 100 dining and live entertainment 김포 출장마사지 venues, the Borgata 서귀포 출장샵 Hotel Casino & Spa 상주 출장마사지 offers a casino, a 남원 출장마사지 golf course, and a nightlife

    BalasHapus