oleh Samudra Bayu
Latar Belakang
Masyarakat
perkotaan sudah pasti memiliki beragam opini tentang pemulung. Banyak yang
beranggapan negatif mengenai pekerjaan yang satu ini, tetapi ada pula yang
tetap mengapresiasi pekerjaan ini. Berbicara mengenai apresiasi terhadap
pemulung, seringkali hal yang sederhana ini terlupakan oleh sebagian besar
masyarakat kota, tak terkecuali kota Surakarta. Masyarakat cenderung
mengabaikan peran dari pemulung yang sesungguhnya cukup besar dalam kaitannya
dengan rantai daur ulang yang menjadi salah satu problema fundamental dalam
kehidupan sehari-hari. Lazimnya manusia pada umumnya, apresiasi yang diterima
pemulung baik dari seseorang maupun dari sekelompok orang tentu akan
membangkitkan kepercayaan diri dan motivasi karena adanya pengakuan keberadaan serta
peran dari pemulung. Menarik untuk diamati bahwa kecenderungan sikap masyarakat
perkotaan, dalam hal ini masyarakat kota Surakarta mencerminkan
minimnya/lunturnya apresiasi terhadap pemulung.
Permasalahan
yang dihadapi
Dalam realita di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari
dua sisi yang berbeda. Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan
peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan
pengetahuan. Disisi lain, keberadaan pemulung dianggap mengganggu kebersihan, keindahan,
ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Bagi pemulung, adanya anggapan positif atau negatif
dari masyarakat tidak menjadi masalah berarti. Dari hasil usaha sendiri para pemulung dapat hidup,
setidaknya bukan
dari hasil minta-minta.
Berdasarkan pengamatan
yang telah dilakukan penulis, komunitas pemulung tersebut mayoritas adalah
petani yang sedang merantau sembari menunggu musim panen, sedangkan sisanya merupakan
murni pemulung. Ketika musim panen tiba, para petani ini akan kembali ke
kampung halamannya untuk mengurus sawah dan hasil panen. Para petani ini
menjadikan pemulung sebagai pekerjaan sampingan karena tuntutan ekonomi yang
semakin hari semakin besar dan mereka memiliki pandangan bahwa memulung
merupakan alternatif terbaik. Hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa para
pemulung tersebut memang benar-benar bergelut dengan kesulitan hidup yang
semakin hari semakin menjepit. Perjuangan hidup komunitas pemulung menunjukkan
bahwa ada keseriusan usaha yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya sebagaimana dijelaskan diatas.
Situasi dan kondisi
sulit yang dialami pemulung seperti itupun, juga masih semakin dipersulit
dengan sikap dan perilaku masyarakat pada umumnya, yang terwujud konkret dalam
bentuk pelarangan terhadap pemulung. Adapun pelarangan ini terwakili melalui
tulisan-tulisan pada semacam papan yang terpampang jelas hampir di setiap ruas
gang ataupun persimpangan-persimpangan di daerah pemukiman warga seperti dalam
perkampungan dan perumahan, yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
Menurut hasil
wawancara dengan komunitas pemulung tersebut, memang pelarangan seperti itu
berdampak pada penghasilan pemulung, karena para pemulung sendiri seakan dibuat
patuh terhadap aturan tersebut. Para pemulung ini merasa prekewuh apabila melanggar walaupun hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan warga, semisal saat kampung dalam situasi sepi. Hal kepatuhan
seperti ini tidak hanya terjadi di komunitas pemulung daerah Tipes saja, tetapi
juga di daerah lain seperti Mojosongo menurut salah seorang pemulung yang
memiliki kawan sesama pemulung di daerah tersebut. Para pemulung ini memegang
komitmen enggan “berurusan” dengan warga karena memang belajar dari pengalaman
ketika beberapa dari mereka mendapatkan teguran kurang lebih tiga kali dari
warga ketika nekat terhadap larangan
tersebut, tentunya dalam waktu, tempat, dan pelaku yang berbeda. Situasi
seperti diatas menjadi gambaran lunturnya apresiasi masyarakat terhadap pemulung
beserta wujudnya.
Klasifikasi Dampak dari Permasalahan
Dampak permasalahan tersebut secara
sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya :
1.
Dampak Sosial-ekonomi:
penghasilan pemulung yang tidak menentu dan cenderung berkurang sehingga akan
menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
2.
Dampak Sosial-politik: semakin berkembangnya larangan
bagi pemulung
untuk memasuki kawasan pemukiman
warga.
3.
Dampak Sosial-budaya:
masyarakat semakin tidak menghargai
pemulung serta memiliki pandangan yang rendah terhadap
pemulung atau meremehkan pemulung. Pada akhirnya
kepekaan sosial dan moral dalam menyikapi hal ini juga akan semakin rendah.
Analisis
Permasalahan
Inti Permasalahan
Setelah
melakukan beberapa
analisis
tentang keprihatinan ini, maka diketemukanlah alur
permasalahan yang dapat dirangkai dalam pola pikir yang dapat dilihat dari
skema berikut :
Suatu
keputusan mengenai adanya pelarangan
yang diperuntukkan kepada pemulung sungguh
mencerminkan realita masyarakat perkotaan,
tanpa terkecuali masyarakat kota Surakarta, telah melunturkan diri terhadap
apresiasi akan perjuangan hidup salah satunya seperti yang diperlihatkan
pemulung. Mengumpulkan berbagai macam barang dari berbagai
lokasi tempat pembuangan sampah di kota yang masih memiliki nilai jual yang
kemudian disalurkan ke tempat-tempat produksi/daur ulang memerlukan kesabaran,
kekuatan, dan daya juang yang tinggi dan itu secara implisit tercermin dalam
diri para pemulung. Jiwa struggle
seperti yang dimiliki komunitas pemulung tersebut tentunya patut dan harus
diapresiasi bersama. Wujud apresiasi tidaklah melulu melalui bantuan langsung
untuk kesejahteraan ataupun penghargaan, namun hanyalah sebuah hal kecil nan simple yang justru dilupakan dan tidak
diperhatikan oleh mayoritas masyarakat, yaitu dengan tidak membatasi ruang
gerak pemulung untuk mencari nafkahnya. Masyarakat yang memiliki kepekaan
sosial tinggi tentu akan sadar bahwa adanya pelarangan terhadap pemulung semakin
membatasi ruang gerak pemulung, sudah tentu imbasnya langsung dan nyata pada
penghasilan pemulung.
Selain itu, perlu disadari bersama pula bahwa adanya pemulung turut
membantu salah satu problematika kehidupan yang sulit ditangani oleh pemerintah
pada umumnya, yakni sampah. Mungkin
timbul
pemikiran bahwa ada sesuatu yang
salah dalam sistem pengelolaan sampah sehingga problem ini menjadi salah satu
dari sekian problema besar dalam kehidupan sehari-hari. Dari sinilah seharusnya ada opsi menjadikan
pemulung sebagai bagian
dari solusi itu. Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak
Dinas Kebersihan Perkotaan membantu mengurangi jumlah sampah khususnya sampah
plastik sehingga dapat meminimalisir pencemaran lingkungan
karena perannya sebagai ujung tombak dari
rantai daur ulang barang bekas.
Dalam konteks luasnya, segala macam kebijakan masyarakat dan
pemerintah perlu mengedepankan kebaikan bersama. Pemulung juga manusia yang membutuhkan sentuhan sosial yang dapat memacu semangat hidupnya.
Karena sebagaimana termuat dalam undang-undang bahwa setiap
orang memiliki hak untuk hidup dan melakukan
segala macam cara untuk mempertahankan hidupnya selama tidak menyalahi kaidah
atau norma-norma maupun nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini, suatu ketidakadilan
benar-benar nyata ditujukan kepada kaum pemulung. Pemulung memang suatu
pekerjaan yang memang mendapat pandangan yang kurang baik di mata masyarakat.
Pekerjaan yang sesungguhnya halal namun justru dipandang suatu pekerjaan yang
seakan tabu dan tak pantas. Berbicara
mengenai pelarangan tersebut, ada benarnya pula masyarakat membuat larangan
tersebut karena berkaca pada peristiwa yang pernah terjadi misalnya sampah
beberapa warga yang berserakan kembali dari tempatnya, ataupun pencurian, yang
sudah tak asing lagi di telinga masyarakat dan bahkan menjadi peristiwa yang
paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa jadi pemulung
menjadi salah satu sorotan dalam hal tersebut.
Namun
alangkah kurang bijaksana jikalau hanya karena berkaca pada hal seperti itu kemudian langsung
mengambil langkah pelarangan terhadap pemulung untuk memasuki suatu pemukiman
warga tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu. Sejatinya, masyarakat membutuhkan pemahaman kembali bahwa suatu tindakan
dilakukan oleh karena adanya peluang. Ketika situasi dan kondisi pemukiman terkontrol
dengan baik, otomatis tindakan kriminal seperti pencurian juga akan minim. Baik
tidaknya kontrol ini juga tergantung pada tanggap atau tidaknya setiap individu
sebagai warga masyarakat. Permasalahan
mendasar daripada tanggap atau tidaknya setiap individu terletak pada kesadaran
dan kepekaan sosial serta moral, sehingga inilah yang sekiranya menjadi fokus
utama sebagai langkah solutif terkait dengan hal tersebut.
Permasalahan tersebut juga
terkait dengan teori perilaku yang dikembangkan oleh Fishbein (1980). Dalam
pendapatnya, perilaku erat kaitannya dengan niat. Sedangkan niat akan
ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisa menjelaskan secara langsung
terhadap perilaku. Di samping itu, niat seseorang untuk melakukan sesuatu
ditentukan oleh dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang datang dari dalam
diri, yaitu sikap. Yang kedua adalah sesuatu yang datang dari luar, yakni
persepsi tentang pendapat orang lain terhadap dirinya, dalam kaitan dengan
perilaku yang diperbincangkan atau dengan kata lain hal yang kedua ini biasa
disebut norma subjektif. Teori Fishbein dapat digambarkan sebagai berikut:
Sikap merupakan satu konsep
kesatuan dengan moral dimana moral dapat dikatakan sebagai landasan dalam
bersikap. Dengan kata lain, pemahaman dan pendidikan yang mendalam mengenai
moral sejatinya sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap sikap yang
diambil. Ketika moral telah terbentuk dengan baik, selanjutnya akan terbentuk
kepekaan dalam bersikap dan menyikapi kejadian ataupun hal-hal yang ada.
Kesimpulan
Lunturnya
apresiasi masyarakat kota terhadap pemulung adalah salah satu contoh akibat
dari minimnya kesadaran dan kepekaan sosial dengan dilandasi ketidakmatangan
moral. Sebutir hal yang seharusnya menjadi konsentrasi dalam bagian pembangunan
karakter manusia Indonesia yang cerdas, luhur, dan berbudaya. Pembangunan
dimensi kepribadian tersebut haruslah mengedepankan dan menargetkan terpenuhinya aspek-aspek humanis secara pas dan seimbang yang tentunya
hanya dapat tercapai dengan didahului oleh adanya kesadaran bersama untuk
merekonstruksi pendidikan dengan dasar pembangunan moral yang utama dilakukan
dalam bingkai dimensi sosial-humanis.
Saran
Kesadaran dan kepekaan sosial masyarakat kota terhadap peran pemulung
dapat dikatakan masih rendah dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup.
Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah setiap insan
masyarakat akan perlunya pembinaan moral sedari dini dalam berbagai upaya yang
relevan sehingga dapat terbentuk kecerdasan sosial dan moral yang baik, kuat
dan mengakar dalam diri masyarakat.
Referensi:
Zamroni. 1992. Pengantar
Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta:Tiara Wacana
Kieser, Bernhard. 1987. Moral
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Teologi
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City - DrmCAD
BalasHapusWith more than 2,400 충주 출장마사지 slots, over 100 dining and live entertainment 김포 출장마사지 venues, the Borgata 서귀포 출장샵 Hotel Casino & Spa 상주 출장마사지 offers a casino, a 남원 출장마사지 golf course, and a nightlife